Tulisan ini karya anakku Muhammad Axel Benicia Zamzami, kelas 7 di Peacesantren welas asih. Tulisan ini sebagai tugas akhir semesternya.
Sebagai pecinta sepak bola saya merasa sedih melihat
masih sering terjadi rasisme atau pembulian dalam beberapa pertandingan sepak
bola. Sungguh itu mencoreng sportivitas dalam olahraga, khususnya sepak bola.
Sebagaimana diketahui sepak bola digemari dan ditonton oleh anak kecil hingga
orang dewasa. Termasuk digemari oleh para santri Peacesantren Welas Asih. Oleh
karena itu, mestinya sepak bola tidak hanya menjadi hiburan yang seru, tapi
juga mengajarkan sportivitas dan rasa saling menghormati, baik di antara pemain
maupun penonton.
“Mido
bawa bom! Mido bawa bom!” Tiba-tiba
teriakan dari pendukung lawan
menyerang Mido—panggilan akrab Ahmad Houssam—setelah pemain
Middlesbrough FC itu mencetak gol. Peristiwa itu terjadi pada musim Liga
Inggris 2007/2008. Mido sendiri adalah pemain Muslim asal Mesir jauh sebelum
Mohammed Salah bermain bola di Eropa.
Ungkapan
terhadap Mido tersebut dikaitkan atas peristiwa serangan bom di London pada 7
juli 2005 yang diduga pelakunya adalah seorang Muslim. “Agama kami tidak pernah
mengajarkan untuk membunuh orang yang tak berdosa,” balas Mido.
Itu
hanya salah satu contoh bagaimana sepak bola masih diwarnai tindakan-tindakan
tidak terpuji. Baru-baru ini kembali Jagat persepakbolaan diguncangkan dengan
tindakan hinaan bernada rasis yang diterima Asisten Pelatih Klub asal Ibukota
Turki, Istanbul Basaksehir, Pierre Webo pada pertandingan terakhir Grup H
antara Istanbul Basaksehir menghadapi Paris Saint- Germain. Insiden terjadi sekitar
15 menit pertama pertandingan dimana wasit utama pertandingan, Ovidiu Hategan
hendak menghadiahkan Webo dengan kartu merah karena asisten pelatih yang juga
eks pemain internasional Kamerun ini melakukan protes yang terlalu keras.
Namun, Asisten Wasit ke-4 asal Rumania, Sebastian Coltescu yang sedang berada
di pinggir lapangan, ikut menunjuk Webo dengan panggilan “Negru” yang dalam
Bahasa Rumania berarti hitam.
Lalu
bagaimana dengan jagat sepak bola Indonesia? Ternyata juga dikotori oleh
tindakan rasis, meskipun peristiwa yang terbaru terjadi di luar lapangan.
Pemain PSM Makassar Patrich Steve Wanggai diserang oleh akun tertentu di kolom
komentar Instagram pribadinya. Kata-kata rasisme muncul setelah pria kelahiran
Nabire Papua itu mencetak satu gol untuk PSM kontra Persija Jakarta pada Senin
22 Maret 2021. Komentar miris itu bernada merendahkan Patrich yang memiliki
warna kulit berbeda.
Itulah sedikit insiden rasis yang bernada pembulian dalam jagat sepak bola, baik antar pemain, baik antara pelatih dengan pemain, antara wasit dengan pemain/pelatih, bahkan hingga penonton terhadap pemain. Rasisme seperti menjadi sesuatu yang “lazim” di dunia sepak bola terutama di Eropa.
Sebetulnya
kemunculan rasisme dalam sepakbola timbul tenggelam. Jadi, tidak akan pernah
selesai. Yang bisa dilakukan adalah terus menerus melakukan kampanye melawan
rasisme di kalangan pecinta atau pendukung sepakbola. Dengan cara mendidik atau
memberikan pemahaman kepada pecinta sepakbola bahwa rasisme itu penyakit atau
tindakan tidak terpuji. Dengan cara tersebut diharapkan rasisme akan semakin
jarang muncul dalam sepakbola.
Sikap
rasisme sendiri merupakan penyakit yang sudah lama ada di luar sepakbola. Steve
Garner dalam bukunya Racisms: An
Introduction, mendefinisikan rasisme sebagai superioritas salah satu ras
terhadap ras yang lain, yang dalam hasilnya berupa diskriminasi dan prasangka
terhadap orang lain berdasarkan ras atau etnis.
FIFA
selaku organisasi sepakbola dunia bukannya diam menghadapi kasus-kasus rasisme.
Mereka sudah menggalakkan slogan "Say No to Racism". Namun sayangnya
rasisme tetap saja muncul.
Sebetulnya
tindakan rasisme banyak muncul dari ulah penonton atau pendukung sepakbola.
Sebagai olahraga yang menjurus keras dan menguras emosi, penonton sering lupa
kalau sepakbola adalah olahraga yang menghibur. Mereka justru larut dan
berlebihan mendukung tim kesayangannya. Akibatnya tindakan emosional dan tidak
terpuji muncul dengan sengaja atau tanpa sengaja, misalnya ujaran rasisme
maupun bentuk-bentuk tindakan pembulian lainnya.
Menurut saya, selain upaya-upaya melawan rasisme yang telah dan akan terus dilakukan FIFA dan federasi (PSSI) setiap klub ataupun tim kesebelasan juga perlu melakukan langkah serupa. Karena sesungguhnya para suporter itu adalah jamaah dari klub yang bersangkutan. Viking jamaahnya Persib, Jakmania jamaahnya Persija, Aremania jamaahnya Arema, dan lain-lain.
Intinya
perlu dilakukan upaya-upaya yg sistematis dan jangka panjang untuk mewujudkan
sepakbola tanpa rasis, tanpa bully, tanpa permusuhan, dan lain-lain.
1.
Tetap mengampanyekan narasi besar STOP RACISM STOP VIOLENCE
2. Mewajibkan setiap federasi sepakbola di negara masing² untuk membuat program yg sistematis utk mendukung kampanye di atas.
Komentar
Posting Komentar