AKU DAN JILBAB

Jilbab,  tak asing lagi buat kaum wanita terutama kaum muslim. Sejak kecil aku dibesarkan dalam lingkungan yang agamanya kuat. Tapi sejak kecil hingga masa kerja aku tidak pernah memakai Jilbab. Saat memasuki sekolahpun aku memilih sekolah yang tidak berjilbab. 

Entah mengapa saat itu aku enggan berjilbab, meski aku juga kuliah diperguruan tinggi islam tapi  tidak mengharuskan pakai jilbab. Aku termasuk cuek dalam hal penampilan, gak terlalu ribet. Kaos oblong dg celana jins dan sandal jepitpun aku dah merasa nyaman dan bisa menjadi diri sendiri. 

Sebagai anak seorang Kyai, kebetulan bapakku seorang tokoh agama dan tokoh masyarakat aku merasa nyaman aja dengan tidak memakai jilbab, dan bersyukur aku mempunyai bapak yang demokratis, tidak memaksakan kehendaknya.  Tapi yang heboh, yang cerewet justru orang lain. Pernah aku di kritik, dia bilang kenapa kamu anak kyai tidak berjilbab, gayamu seperti anak urakan. Sakit rasanya mendengar kritikan tsb tapi aku hanya bilang  yang penting hatinya. Meski  aku berpenampilan seperti ini aku tidak merokok, aku tidak dugem, aku tidak narkoba, dan melakukan hal-hal yg negatif. 

Aku adalah aku suatu saat nanti aku pasti berjilbab kalau hidayah itu datang. Sebel rasanya ada orang yang sok suci seperti itu padahal dia gak suci. Gak ada orang suci di dunia ini kecuali bayi baru lahir dan setelah bulan ramadhan.

Gayaku yang tidak berjilbab bisa dibuat alasan teman-temanku yang di suruh orang tuanya makai jilbab. Mereke bilang, Lia yang anaknya pak kyai aja gak pakai jilbab. Tertawa juga aku melihat penolakan mereka.

Tak terasa umur makin bertambah, seharusnya bertambah usia bertambah pula kematanganku. entah mengapa mendekati mau menikah aku kepingin memakai Jilbab. Saat itu ada acara buka bersama di bekas kantorku, aku datang dg berjilbab dan esoknya begitu hendak pergi ke toko entah mengapa hatiku ingin terus berjilbab. Mungkin ini saatnya aku harus berjilbab setelah sekian lama jilbab tak pernah ada dalam kamus hidupku. Awalnya canggung memakai jilbab tapi aku berusaha enjoy memakainya. Tak ada reaksi dari orangtua, tapi aku yakin beliau pasti senang.

Sejak saat itu sampai sekarang aku berjilbab. Meski hati belum sepenuhnya bersih dari dosa tapi perilakuku berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. Kadang aku jadi heran, teman-temanku atau orang yang pernah kukenal dulunya pakai jilbab tapi setelah itu di lepas. Kayak artis aja yang dulunya berjilbab tp setelah bercerai malah buka-bukaan. Ah, itu urusan mereka dengan Tuhan. 

Aku bersyukur mendapatkan hidayah sebelum menikah sudah berjilbab, jadi tidak ada paksaan dari suami. Aku juga merasa aman dan nyaman berjilbab karena aku tinggal di Jakarta hidup mandiri, jadi aku harus bisa menjaga diri, menjaga harta, dan menjaga axel. Jadi mari berjilbab agar hati jadi tenang, penampilanpun tetap cantik.