![]() |
saat aku SD |
Saat aku sekolah, para guru hanya merespon anak-anak yang pintar, anak orang kaya. Aku masih ingat, saat ekstra kurikuler menari, sebenarnya aku punya bakat menari tapi aku tidak pernah diikutkan di ajang-ajang yang bergengsi. Yang dipilih anak-anak yang berwajah cantik, bodi yang oke, anaknya pejabat tapi bakat menari tidak ada. Deskriminasi inilah yang membuat motivasi, kepintaranku menjadi terkekang, di keluargakupun kata-kata yang tidak memotivasi, kata-kata yang merendahkan selalu terucap dan lewat begitu saja. Seperti: bodoh, tolol, kuper dll. Akhirnya seperti inilah jadinya Aku. Meski nilai rapor tidak terlalu jelek dan lulus ujian sampai menjadi sarjana tapi ilmu yang kudapat tidak satupun yang nyantol di otak.
Dan sekarang aku bukan siapa-siapa yang tidak bisa membuat orangtuaku bangga. Tidak hanya aku yang mengalami nasib seperti itu. Sepupuku yang masih SD mengeluh dengan banyaknya hafalan-hafalan yang harus dia hafalkan sampai pernah berucap “ mungkin aku bisa gila kalau harus menghafal semua ini”. Keponakanku mogok tidak mau sekolah karena gurunya mengatakan dia anak nakal. Anak tetanggaku TK ngambek dan menangis dimarahi gurunya karena dia tidak mau makan nasi, kebetulan anak tersebut memang sejak kecil anti makan nasi. Apa yang salah dalam kasus ini? Apa karena aku, dan yang lainnya tidak pintar atau karena sistem pendidikan di sekolah atau di keluarga yang salah?????.
Baru aku paham, dan amat sangat setuju saat aku membaca buku I love U, ayah bunda. Dalam buku tersebut dikatakan, pada dasarnya kemampuan setiap otak anak hampir sama canggihnya. Hanya saja, itu semua masih bersifat kemampuan dasar yang siap dikembangkan. Yang menjadi kunci utama adalah siapa yang mengembangkannya, dan apakah dia tahu persis bagaimana mengembangkan kemampuan otak masing-masing anak, yang meskipun memiliki kemampuan sama hebatnya, tetapi memiliki karakteristik dan pusat-pusat keunggulan yang berbeda-beda. Jadi, anak-anak kita itu harusnya tidak ada yang gagal, yang ada adalah para pendidik yang gagal mengembangkan kemampuannya. Setelah kupahami dan kurenungkan berarti aku gagal bukan karena aku tidak pintar tapi karena pendidiknya yang gagal mendidikku.
Seandainya waktu itu guru kesenianku mengetahui bakatku, memotivasi, mengarahkannya mungkin aku bisa menjadi penari profesional. Kalau saja orangtua sepupuku itu mendengarkan kata hati anaknya dan memindahkannya ke sekolah yang sesuai dengan kemampuannya mungkin anaknya tidak akan tertekan dengan pelajaran-pelajaran yang ada. Kalau saja guru keponakanku dan guru anak tetanggaku mengatakan kata-kata yang memotivasi, dan memahami anak didiknya mungkin mereka tidak lagi malas ke sekolah dan tidak menjadi anak nakal.
Saat axel masih bayi, dia baru bisa tengkurap umur 6 bulan, bisa jalan umur 1.5 tahun. Saat itu aku panik dan merasa kalau axel agak lamban. Tapi Dokter anak yang menangani axel dan suamiku tidak pernah menjatuhkan mental axel dan mental aku sebagai ibunya. Jadinya aku tenang dan tetap memotivasi axel. Seperti anak-anak lainnya axel tumbuh menjadi anak yang aktif, tidak bisa diam, tidak mau kalah, suka teriak-teriak, dan sebagainya. Sehingga aku dibikin pusing oleh tingkahnya. Tapi Setelah aku baca buku tersebut aku jadi sadar kalau kita seharusnya menerima dengan rasa syukur anak-anak kita betapapun mereka sering membuat kita kesal dan kewalahan. Jangan mengeluh, melainkan belajar untuk mendidik mereka secara tepat agar kelak mereka menjadi orang-orang yang luar biasa dan membahagiakan orang tuanya.
Berbekal itulah aku akan mendidik axel my little prince dengan memahami bakatnya, kepintarannya dan mengarahkannya. Mendidiknya dengan penuh kasih sayang tanpa kekerasan, tanpa kata-kata yang tidak baik, memotivasinya, mencari sekolah yang memahami anak bukan anak yang memahami sekolah dan mengubah diriku untuk menjadi lebih baik lagi dan terus belajar untuk menjadi pendidik yang baik. Agar Axel tidak mengalami apa yang kurasakan saat aku kecil dulu.
Seperti ibunda Thomas Alfa Edison yang bisa mencetak anaknya menjadi seorang ilmuwan yang luar biasa dengan lebih dari 1000 temuan yang dipatenkan. Padahal ibunya hanya seorang ibu rumah tangga biasa, single parent tapi beliau ibu yang selalu memotivasi anaknya, selalu mendorong anaknya untuk melakukan apa saja yang disukainya, ibu yang penuh cinta kasih sehingga Thomas tumbuh menjadi orang yang sangat penuh percaya diri dan pekerja keras yang selalu berpikir positif. Tidak hanya Thomas Alfa Edison tapi masih banyak anak-anak genius yang pernah tercatat oleh sejarah selalu memiliki orang-orang yang hebat di belakangnya sebagai sang pendidik sejati.
Jadi, Mari kita mendidik anak-anak kita tercinta secara tepat, agar bisa menjadi Thomas Alfa Edison masa depan!!!!!
sebuah pengalaman yang inpiratif...
BalasHapussaya setuju sekali...
salam kenal...
salam kenal kembali pak masmomat... trims...
BalasHapus